Twitter

Sunday, February 17, 2013

I Met You - II


Darrel... Darrel... Aku tak tahu mengapa rasa penasaran ini kembali menyelimutiku. Kuingat-ingat nama sederet kawan lamaku. Rasanya tak ada satupun yang bernama Darrel. Nama itu begitu asing, namun mengapa tatapannya sangat akrab? Mengingatnya benar-benar membuatku semakin gila. Mengetahui namanya bahkan membuatku tambah dilanda penasaran yang sangat tinggi. Aku tidak bisa menanyakan hal ini pada siapapun. Apalagi Sean, dia bahkan baru bertatap wajah dengan Darrel semenjak kejadian dua hari yang lalu.

Komunitas kampus semakin lama semakin banyak. Tanpa kuketahui, ternyata Sean memasukkanku ke dalam journalist club. “Kau harus mau peduli dengan lingkungan kampus, satu-satunya cara hanya ini, Line. Memasukkanmu ke dalam klub pencari berita.” Begitu katanya ketika aku memprotesnya. Selama ini aku memang cenderung tidak memerdulikan apapun yang terjadi di lingkungan kampus. Apalagi mahasiswi yang suka bergossip tidak benar, aku paling tidak suka. Namun, mau tidak mau aku harus peduli saat ini. Menjadi bagian dari journalist club adalah suatu hal yang tidak bisa dianggap remeh. Setiap bulannya, aku harus mencoba untuk mencari berita tentang perkuliahan dan masalah-masalah dalam kampusku sendiri. Yang nantinya, semua berita itu akan dikemas dalam suatu buletin dan majalah. Untuk bisa melakukan semua itu, aku berusaha niatkan dalam diriku untuk bisa mencari info sebanyak-banyaknya. Karena semua ini adalah tanggung jawab dalam diriku.

Hari pertama dalam journalist club, aku sudah diperintahkan sesuatu yang cukup berat. Azura, ketua klub, memintaku untuk mencari tahu tentang mahasiswa yang diduga sebagai pemakai narkoba. Aku baru tahu, menjadi bagian dari klub ini bukan hanya sebagai pencari berita, tetapi juga menjadi intel. Yang nantinya, jika aku sudah dapat informasi tentang ini, sang pemakai akan dilaporkan ke pihak yang berwajib. Benar-benar tugas yang merepotkan.
“Line, bagaimana berada di journalist club?” tanya Sean yang berada di depanku saat ini. Kami berdua sedang makan di foodcourt dekat rumah Sean.
“Biasa saja” jawabku apa adanya
“Kau ini, dapat tugas apa?”
“Sebagai intel”
“Hah?”
“Iya, sebagai intel.”
“Mengapa kamu memberitahuku?”
“Sean, aku tahu semua tentangmu. Masa iya aku harus menyembunyikan misiku ini darimu?” ucapku sambil melahap nasi dan sesuir bebek goreng
“Hmmm, apa misimu?”
“Mencari info tentang pemakai itu. Seperti yang pernah kau bilang kepadaku. Oya, memangnya kau sudah tahu siapa orangnya?”
“Belum, yang jelas aku dengar-dengar, ia anak fakultas hukum.”
Aku membulatkan mulutku sedikit. Anak fakultas hukum ada saja yang berani melakukan penyimpangan sosial seperti itu
***
“Kau bilang apa?!” Bentak seorang lelaki di halaman belakang kampus
“Tidak, aku tidak bilang apa-apa”
“Jangan menuduh sembarangan!” Seru lelaki yang tidak asing di mataku. Ia langsung melemparkan kerah baru lelaki di depannya dengan sangat kuat. Aku tidak tahu apa yang baru saja mereka bicarakan sebelum aku menguping. Sebagai intel baru, aku merasa tertarik untuk memata-matai lelaki yang kerahnya baru saja dilemparkan itu. Kuikuti langkahnya dari belakang, tentunya dengan pelan-pelan. Baru dua langkah kuberjalan, seseorang yang suaranya masih terngiang di telingaku, memanggil
“Hey!” serunya
Aku kaget. Darrel menatapku tajam-tajam. Matanya seolah-olah melarangku untuk mengikuti jejak lelaki tadi.
“Kau mau apa?”
“Mengikuti.... mengikuti laki-laki itu” jawabku dengan jujur
“Jangan! Dia intel baru di kampus ini. Sekali saja kau mengajaknya bicara, pasti ia akan menanyakanmu hal-hal privasi yang seharusnya tidak kau  ceritakan”
Aku tercengang. Intel baru? Kalau dia intel baru, berarti ia rekan klubku. Namun, sebagai intel baru yang lebih cerdas, aku berusaha menyembunyikan diri bahwa aku adalah intel. Karena dimana-mana, intel memang tidak ada yang pernah tahu.
“Kau tahu, Line? Ia menyangka aku merubah-rubah namaku. Ia menuduhku sebagai pemakai narkoba. Yang benar saja? Masa iya anak FH sepertiku pemakai narkoba. Cuih. Fitnah besar” Mataku membulat. Sasaran yang tepat, batinku.
“Iya? Parah sekali anak itu. Tapi memangnya benar ya, ada anak fakultas hukum yang diduga sebagai pemakai?” tanyaku pura-pura tidak tahu
“Katanya sih begitu, tapi aku tidak tahu siapa orangnya” jawabnya acuh. Ia langsung mengajakku untuk ke kantin kampus sekedar membeli minum. Sepertinya ia sedang tidak mau diajak banyak bicara. Jadi, aku hanya berusaha untuk diam dan menenangkan hatinya.
***
Hari-hariku dipadatkan oleh kegiatan dan tugas-tugas kampus. Berada dalam journalist club sudah membuatku semakin berbaur. Aku menjadi tahu banyak hal tentang kampus ini. Walaupun tugas utamaku sendiri belum terpenuhi. Sean sangat senang dengan perubahan yang ada pada diriku ini. Ia selalu mendukungku untuk menjadi wartawan kecil-kecilan. Mungkin hanya aku satu-satunya mahasiswi fakultas ekonomi yang menjadi bagian dari club. Semuanya berasal dari jurusan reportasi atau jurnalistik. Semakin hari, aku semakin dekat dengan Darrel. Kalau Sean sedang tidak bisa mengantarku pulang, biasanya Darrel lah yang mengantarku. Ternyata, kejadian tertabrak kecil-kecilan saat itu bukannya menimbulkan sakit, malah menimbulkan kesenangan. Banyak hal yang memang membuatku merasa nyaman bersamanya. Dan tentu, tatapan khas itu belum pernah hilang.

Siang itu, Azura memperlihatkan kepadaku sebuah karikatur orang yang tersangka memakai narkoba. Ada dua orang. Karikatur yang pertama berbadan besar, tinggi, dan seram. Aku tidak dapat membacanya dengan jelas. Karikatur yang kedua bahkan lebih tidak jelas lagi. Berbadan sedang, tinggi, dan kurus. Namun aku merasa bisa membaca karikatur itu. Yang aku butuhkan adalah melihat langsung foto dari tersangka itu.
“Inisial mereka R dan K” ucap Azura memberi tahu
“Kau dapat ini darimana, Zur?” tanyaku penasaran
“Andik, intel dari jurnalistik yang rela-relaan untuk mencari tahu ini. Bahkan, ia sampai dihabisi oleh salah satu dari tersangka ini.” Jelas Azura
“Dihabisi?” tanyaku untuk meyakinkan. Belum sempat Azura menjawab, Andik yang dimaksud olehnya masuk ke ruangan.
“Hey, Andik! Ini Aline, anggota baru kita” jelas Azura kepada kami berdua. Tunggu sebentar, rasanya aku baru bertemu lelaki ini beberapa hari yang lalu.
“Hai, Aline! Salam kenal” Ucapnya yang langsung mengulurkan tangan untuk menjabat tangan. Aku yang sedang mengingat-ingat, hanya tersenyum ramah.

Aku ingat! Aku ingat bahwa Andik adalah lelaki yang dilemparkan kerahnya oleh Darrel beberapa hari yang lalu. Tapi mengapa Darrel melakukan itu?
***
Hari ini adalah pengumuman hasil ujian semester. Mahasiswa-mahasiswi ribut melihat IPK-nya di internet maupun majalah dinding. Aku baru mau melihatnya melalui laptopku. Sean bilang, ia sudah melihat dan IPK-nya 3,25. Saat aku melihat, ternyata IPK milikku 3,5. Aku sangat senang dengan hasil itu. Walaupun tidak paling tinggi, namun aku tetap bangga. Setelah melihat milikku, aku memilih untuk melihat milik Darrel. Kucari nama lengkapnya, Darrel Ihsan Harahap. Tetapi.... tetapi nama itu tidak ada. Kucari sekali lagi untuk memastikan. Nama yang tidak ada berarti tidak lulus. Bagaimana mungkin? Aku langsung meneleponnya untuk memastikan.
“Halo?”
“Halo, Rel. IPK mu berapa?”
“3,6”
“Bagaimana kau tahu? Aku sudah mencari namamu berulang-ulang, tetapi tidak muncul” ucapku dengan panik. Darrel diam sesaat, aku hanya menunggu jawabannya tanpa bicara
“Hmm begitu? Tadi aku langsung diberitahu oleh dosen favoritku. Aku belum membukanya lagi di internet, mungkin memang belum tercantum saja. Memang sering begitu, bukan?”
“Oh syukurlah. Tadinya kukira kau tidak lulus...” ucapku setelah menghembuskan nafas panjang
“Hahaha masa iya, lelaki baik dan taat beribadah sepertiku tidak lulus?” gumam Darrel. Ia mulai narsis kembali
“Hah kau ini, sudah ya. Bye, Rel!”
Klik.
***
Aku dan Sean berjalan meyusuri kerumunan orang yang ingin menuju ruangan masing-masing. Menunggu lift kosong adalah hal yang tidak wajib dilakukan saat ini. Aku dan Sean memilih untuk menaiki tangga. Berhubung juga karena ruangan kami yang tidak berada terlalu atas, yaitu di lantai 3. Saat tiba di lantai dua, aku mendapatkan sesuatu yang menyita pandanganku. Lelaki itu... lelaki dalam karikatur. Iya, tepat sekali. Namun, ia bersama dengan..... Darrel.
“Sean, kau duluan saja. Ada urusan yang harus kuselesaikan.” Pintaku pada Sean
“Ok kalau begitu. Hati-hati, Line” ucap Sean yang langsung melambaikan tangannya. Aku langsung mendekat ke arah dua lelaki itu. Untungnya, mereka tidak mendengar langkah kakiku. Mereka berada di dekat toilet. Tempat ini memang sepi, karena hanya digunakan untuk ruang multimedia. Aku bersembunyi dibalik lemari di belakang mereka.
“Kalau sampai ada yang mengetahui hal ini, lebih baik mati saja kau!” seru lelaki besar itu
“Apa urusanmu lagi denganku? Aku bahkan sudah menyembunyikan semuanya. Aku rela merubah identitas diriku hanya demi kau!” ucap Darrel dengan nada tinggi
“Apa lagi? Apa lagi katamu? Intel bodoh itu bahkan sudah mengetahuiku! Mana usaha yang kau bilang itu?”
“Dengar, Rendy! Aku sudah muak dengan semua itu. Tuduhan itu hanya membuatku gila! Aku bahkan tidak pernah bersalah dari awal” Darrel mendangakkan kepalanya. Seakan-akan siap untuk menghabisi lelaki besar itu. Belum sempat aku melihat apa yang terjadi selanjutnya, Azura menghubungiku. Akupun langsung beranjak naik ke atas tangga agar suaraku tidak terdengar oleh lelaki besar dan Darrel.
“Halo?”
“Halo, Aline”
“Ada apa, Zur?”
“Lelaki dalam karikatur itu sudah hampir ditemukan. Tinggal bagaimana kita menyidang mereka berdua. Karena ternyata pemakai narkoba itu hanya satu orang saja.” Mulutku membulat. Apakah semua ini ada hubungannya dengan kejadian yang baru saja aku lihat tadi? Tanpa basa-basi kembali, telepon kututup. Aku kaget melihat Darrel yang sedang kewalahan menaiki tangga.
“Darrel!”
Ekspresi wajah Darrel berubah, sepertinya ia tak kalah kaget melihat keberadaanku di sana.
“Kau kenapa, Rel?” tanyaku khawatir dengan pura-pura tidak tahu
“Bukan urusanmu, Line” ucapnya yang berlanjut berjalan menyurusi tangga tanpa berhenti sedikitpun untuk mendekatiku. Aku memaksakan diri untuk mengikutinya berjalan. Padahal aku tahu bahwa mata kuliah sudah dimulai sekarang.
“Jangan mengikutiku!” Aku tersentak. Emosi Darrel benar-benar tak terkendali. “Jangan dekati aku lagi, Aline! Kumohon, kau tak pantas berada di dekatku!”
“Apa salahku, Rel?”
“Salahmu telah mengambil hatiku sejauh ini! Salahmu tak pernah mengingat siapa aku! Dan salahmu telah meninggalkan aku!” aku benar-benar bingung. Tatapan khas yang dari awal kutemui ini benar-benar membuatku tak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tau harus berkata apa lagi. Aku hampir menangis untuk mengerti arti dari semua perkataan Darrel.
“Kita hanya punya waktu besok malam. Tolong temani aku ke suatu tempat untuk terakhir kalinya. Atau kau tak akan pernah lagi bertemu denganku” katanya dengan terengah-engah. Ia langsung pergi meninggalkanku tanpa berbalik kembali.
***
Sidang yang dilaksanakan oleh journalist club dimulai sore ini. Aku tidak dilibatkan sebagai saksi mata. Oleh karena itu, Azura memintaku untuk tidak datang. Karena sidang dilaksanakan tertutup oleh ketua, wakil, dan satu intel klub. Awalnya aku merasa senang karena pelaku telah ditemukan. Namun ada hal yang sejak kemarin menjanggal hatiku. Darrel.
***
“Maaf membuatmu lama menunggu” ucap Darrel yang baru tiba di rumahku pukul setengah sembilan malam.
“Iya tidak apa-apa. Kita akan kemana?” tanyaku datar. Darrel tidak menjawab. Ia masih serius memandangi jalan dan memutar-mutar stirnya. Suasana mobil Darrel selalu menimbulkan rasa penasaran yang sangat jauh untukku. Terutama jam kecil yang terletak di depan kaca mobil itu. Lagi-lagi, benda itu membuatku menatapnya lebih lama. Sepertinya malam ini tidak akan indah. Untukku, untuk Darrel, untuk kita.

Selang waktu setengah jam, aku dan Darrel tiba di suatu tempat yang sepi. Darrel membawaku ke danau yang orang-orang bilang adalah danau cinta. Sedikit gila kedengarannya, namun tempat ini memang benar-benar menarik. Aku teringat memoriku dulu. Sepertinya aku pernah menginjakkan kakiku ke tempat ini sebelumnya. Tapi.... tapi kapankah itu?

Sebelum turun dari mobil, Darrel mengambil jam kecil yang selama ini telah lama menyita waktuku untuk memikirkannya. Lalu Darrel menggenggam tanganku dengan erat. Belum pernah sebelumnya ia melakukan hal ini. Aku dan dia masih diam sambil berjalan. Sampai akhirnya kami berhenti di suatu tempat yang lebih indah lagi. Darrel membawaku menaiki balkon yang berada di pinggi danau. Terlihat lebih jelas bulan sabit yang ada pada langit malam itu. Namun, aku tidak melihat ada bintang di sana.
“Mengapa kau membawaku ke tempat ini?” tanyaku
Darrel tidak menjawab
“Rel, ayolah! Ceritakan semuanya kepadaku! Aku benar-benar lelah mencari tahu apa yang terjadi olehmu, apa yang kau maksud kemarin, dan apa yang membuatku benar-benar tak tahu siapa dirimu!”
“Aline...” aku terkejut. Darrel telah membulatkan tangannya ke tubuhku. Pelukan itu. Pelukan yang sebelumnya pernah kurasakan. Dan kini pelukan itu terasa lebih hangat.
“Sesulit itukah kau mengingatku, Line? Sesulit itu?!” bentak Darrel yang setengah mendorong bahuku.
“Aku bahkan....” aku tersendat “Aku bahkan sudah muak untuk mengingat semua yang ada pada dirimu. Aku benar-benar tidak ingat. Aku benar-benar kelelahan untuk mencari tahu siapa yang memiliki tatapanmu itu! Jam kecil itu! Pelukan itu! Darrel.....” aku terisak. Air mataku tak mampu kubendung kembali
“Aline.... Dengarkan aku,” ucap Darrel dalam-dalam “Besok aku sudah ditahan jeruji besi. Aku sudah menjadi tersangka pengedar narkoba..”
“Darrel....”
“Sesungguhnya aku bukanlah orangnya, tetapi Rendy, teman kecil kita dulu”
Teman kecil? Apa yang Darrel maksud?
“Rendy menyukaimu. Setelah aku tahu kau memasuki kampus yang sama dengan kami, kami mengejar kamu, Line. Rendy sudah lama menjadi pengguna, dan karena dendam di masa lalu, Rendy menyuruhku untuk mendekatkan dirinya padamu. Jika tidak, aku akan dijadikan relawan untuk menggantikannya sebagai tersangka narkotika di kampus.” Darrel menarik nafas. “Setelah kejadian kita saat tertabrak itu, aku merasa berubah pikiran. Awalnya aku bermain dibelakangnya untuk mendekatimu. Tetapi ternyata lama kelamaan ia mengetahui kedekatan kita yang semakin jauh. Sampai akhirnya, aku rela dijadikan tersangka hanya demi kamu, Aline Hiromata Mustika”
Air mataku jatuh kembali. Teman kecil. Dendam masa lalu. Aku semakin mengingat siapa dirinya. Rendy. Dan apa itu masa lalu
“Kau.....”
“Aku Kennard, Line. Aku menyamarkan namaku agar tak ada satupun orang yang tahu siapa aku. Termasuk kau”
“Kennard Mick Johnson? Ken? Kau Ken? Katakan padaku kau Ken!”
“Aku senang kau mengenalku, Aline. Namun semua sudah terlambat, kita tak harus bertemu lagi. Biarlah masa-masa di sekolah menengah dulu berlalu. Aku tak ingin membuatmu sakit lagi.” Ucap Ken lirih “Aku sangat mencintaimu, dari dulu sampai sekarang, Line”
Aku membeku. Ken. Kennard. Kekasihku di masa sekolah dulu. Tatapan itu, tatapan yang selalu membuatku tak dapat melawan dirinya. Jam kecil yang terdapat bentuk A&K itu. Aline dan Kennard. Jam yang dulu kuberikan padanya. Pelukan itu. Pelukan yang dulu kurasakan hanya sekali selama berpacaran. Aku ingat. Aku ingat semua itu. Aku ingat semua itu setelah Darrel memberi tahu bahwa ia Kennard. Kennard yang sangat kucintai. Ia benar, aku telah melupakannya terlalu cepat.
“Aku tidak akan membiarkanmu masuk ke penjara, Ken!” seru diriku “aku anggota journalist club. Aku intel dari klub. Dan aku akan memberikan banyak bukti pada klub
“Aline, itu tidak mungkin. Rendy..”
“Jangan pikirkan Rendy! Kumohon, ini semua demi kamu, aku, dan kita, Ken!”
Kennard tidak berkata apapun.
“Terimakasih telah mengingatku dan mencintaiku sampai sejauh ini, Ken” ucapku lirih. Kennard menatapku dalam-dalam
“Kalau kau benar bisa membebaskanku...” Ken  berhenti sejenak “Kumohon lalui waktumu bersamaku lagi seperti dulu, Line”
Aku tersenyum. Kurasa permohonan itu tak perlu jawaban ya atau tidak. Yang ada hanya keikhlasan untuk kembali lagi seperti dahulu.

Ken, aku bersyukur telah bertemu lagi denganmu saat ini.
Akhirnya, aku bisa mengingat tatapan itu kembali

No comments:

Post a Comment