Darrel... Darrel... Aku tak
tahu mengapa rasa penasaran ini kembali menyelimutiku. Kuingat-ingat nama
sederet kawan lamaku. Rasanya tak ada satupun yang bernama Darrel. Nama itu
begitu asing, namun mengapa tatapannya sangat akrab? Mengingatnya benar-benar
membuatku semakin gila. Mengetahui namanya bahkan membuatku tambah dilanda
penasaran yang sangat tinggi. Aku tidak bisa menanyakan hal ini pada siapapun.
Apalagi Sean, dia bahkan baru bertatap wajah dengan Darrel semenjak kejadian
dua hari yang lalu.
Komunitas
kampus semakin lama semakin banyak. Tanpa kuketahui, ternyata Sean memasukkanku
ke dalam journalist club. “Kau harus
mau peduli dengan lingkungan kampus, satu-satunya cara hanya ini, Line.
Memasukkanmu ke dalam klub pencari berita.” Begitu katanya ketika aku
memprotesnya. Selama ini aku memang cenderung tidak memerdulikan apapun yang
terjadi di lingkungan kampus. Apalagi mahasiswi yang suka bergossip tidak
benar, aku paling tidak suka. Namun, mau tidak mau aku harus peduli saat ini.
Menjadi bagian dari journalist club adalah
suatu hal yang tidak bisa dianggap remeh. Setiap bulannya, aku harus mencoba
untuk mencari berita tentang perkuliahan dan masalah-masalah dalam kampusku
sendiri. Yang nantinya, semua berita itu akan dikemas dalam suatu buletin dan
majalah. Untuk bisa melakukan semua itu, aku berusaha niatkan dalam diriku
untuk bisa mencari info sebanyak-banyaknya. Karena semua ini adalah tanggung
jawab dalam diriku.
Hari
pertama dalam journalist club, aku sudah diperintahkan sesuatu yang cukup berat.
Azura, ketua klub, memintaku untuk mencari tahu tentang mahasiswa yang diduga
sebagai pemakai narkoba. Aku baru tahu, menjadi bagian dari klub ini bukan
hanya sebagai pencari berita, tetapi juga menjadi intel. Yang nantinya, jika
aku sudah dapat informasi tentang ini, sang pemakai akan dilaporkan ke pihak
yang berwajib. Benar-benar tugas yang merepotkan.
“Line,
bagaimana berada di journalist club?” tanya Sean yang berada di depanku saat
ini. Kami berdua sedang makan di foodcourt dekat rumah Sean.
“Biasa
saja” jawabku apa adanya
“Kau
ini, dapat tugas apa?”
“Sebagai
intel”
“Hah?”
“Iya,
sebagai intel.”
“Mengapa
kamu memberitahuku?”
“Sean,
aku tahu semua tentangmu. Masa iya aku harus menyembunyikan misiku ini darimu?”
ucapku sambil melahap nasi dan sesuir bebek goreng
“Hmmm,
apa misimu?”
“Mencari
info tentang pemakai itu. Seperti yang pernah kau bilang kepadaku. Oya,
memangnya kau sudah tahu siapa orangnya?”
“Belum,
yang jelas aku dengar-dengar, ia anak fakultas hukum.”
Aku
membulatkan mulutku sedikit. Anak fakultas hukum ada saja yang berani melakukan
penyimpangan sosial seperti itu
***
“Kau
bilang apa?!” Bentak seorang lelaki di halaman belakang kampus
“Tidak,
aku tidak bilang apa-apa”
“Jangan
menuduh sembarangan!” Seru lelaki yang tidak asing di mataku. Ia langsung
melemparkan kerah baru lelaki di depannya dengan sangat kuat. Aku tidak tahu
apa yang baru saja mereka bicarakan sebelum aku menguping. Sebagai intel baru,
aku merasa tertarik untuk memata-matai lelaki yang kerahnya baru saja
dilemparkan itu. Kuikuti langkahnya dari belakang, tentunya dengan pelan-pelan.
Baru dua langkah kuberjalan, seseorang yang suaranya masih terngiang di
telingaku, memanggil
“Hey!”
serunya
Aku
kaget. Darrel menatapku tajam-tajam. Matanya seolah-olah melarangku untuk
mengikuti jejak lelaki tadi.
“Kau
mau apa?”
“Mengikuti....
mengikuti laki-laki itu” jawabku dengan jujur
“Jangan!
Dia intel baru di kampus ini. Sekali saja kau mengajaknya bicara, pasti ia akan
menanyakanmu hal-hal privasi yang seharusnya tidak kau ceritakan”
Aku
tercengang. Intel baru? Kalau dia intel baru, berarti ia rekan klubku. Namun,
sebagai intel baru yang lebih cerdas, aku berusaha menyembunyikan diri bahwa
aku adalah intel. Karena dimana-mana, intel memang tidak ada yang pernah tahu.
“Kau
tahu, Line? Ia menyangka aku merubah-rubah namaku. Ia menuduhku sebagai pemakai
narkoba. Yang benar saja? Masa iya anak FH sepertiku pemakai narkoba. Cuih.
Fitnah besar” Mataku membulat. Sasaran
yang tepat, batinku.
“Iya?
Parah sekali anak itu. Tapi memangnya benar ya, ada anak fakultas hukum yang
diduga sebagai pemakai?” tanyaku pura-pura tidak tahu
“Katanya
sih begitu, tapi aku tidak tahu siapa orangnya” jawabnya acuh. Ia langsung
mengajakku untuk ke kantin kampus sekedar membeli minum. Sepertinya ia sedang
tidak mau diajak banyak bicara. Jadi, aku hanya berusaha untuk diam dan
menenangkan hatinya.
***
Hari-hariku
dipadatkan oleh kegiatan dan tugas-tugas kampus. Berada dalam journalist club sudah membuatku semakin
berbaur. Aku menjadi tahu banyak hal tentang kampus ini. Walaupun tugas utamaku
sendiri belum terpenuhi. Sean sangat senang dengan perubahan yang ada pada
diriku ini. Ia selalu mendukungku untuk menjadi wartawan kecil-kecilan. Mungkin
hanya aku satu-satunya mahasiswi fakultas ekonomi yang menjadi bagian dari
club. Semuanya berasal dari jurusan reportasi atau jurnalistik. Semakin hari,
aku semakin dekat dengan Darrel. Kalau Sean sedang tidak bisa mengantarku
pulang, biasanya Darrel lah yang mengantarku. Ternyata, kejadian tertabrak
kecil-kecilan saat itu bukannya menimbulkan sakit, malah menimbulkan
kesenangan. Banyak hal yang memang membuatku merasa nyaman bersamanya. Dan
tentu, tatapan khas itu belum pernah hilang.
Siang
itu, Azura memperlihatkan kepadaku sebuah karikatur orang yang tersangka
memakai narkoba. Ada dua orang. Karikatur yang pertama berbadan besar, tinggi,
dan seram. Aku tidak dapat membacanya dengan jelas. Karikatur yang kedua bahkan
lebih tidak jelas lagi. Berbadan sedang, tinggi, dan kurus. Namun aku merasa
bisa membaca karikatur itu. Yang aku butuhkan adalah melihat langsung foto dari
tersangka itu.
“Inisial
mereka R dan K” ucap Azura memberi tahu
“Kau
dapat ini darimana, Zur?” tanyaku penasaran
“Andik,
intel dari jurnalistik yang rela-relaan untuk mencari tahu ini. Bahkan, ia
sampai dihabisi oleh salah satu dari tersangka ini.” Jelas Azura
“Dihabisi?”
tanyaku untuk meyakinkan. Belum sempat Azura menjawab, Andik yang dimaksud
olehnya masuk ke ruangan.
“Hey,
Andik! Ini Aline, anggota baru kita” jelas Azura kepada kami berdua. Tunggu
sebentar, rasanya aku baru bertemu lelaki ini beberapa hari yang lalu.
“Hai,
Aline! Salam kenal” Ucapnya yang langsung mengulurkan tangan untuk menjabat
tangan. Aku yang sedang mengingat-ingat, hanya tersenyum ramah.
Aku
ingat! Aku ingat bahwa Andik adalah lelaki yang dilemparkan kerahnya oleh
Darrel beberapa hari yang lalu. Tapi mengapa Darrel melakukan itu?
***
Hari
ini adalah pengumuman hasil ujian semester. Mahasiswa-mahasiswi ribut melihat
IPK-nya di internet maupun majalah dinding. Aku baru mau melihatnya melalui
laptopku. Sean bilang, ia sudah melihat dan IPK-nya 3,25. Saat aku melihat,
ternyata IPK milikku 3,5. Aku sangat senang dengan hasil itu. Walaupun tidak
paling tinggi, namun aku tetap bangga. Setelah melihat milikku, aku memilih
untuk melihat milik Darrel. Kucari nama lengkapnya, Darrel Ihsan Harahap.
Tetapi.... tetapi nama itu tidak ada. Kucari sekali lagi untuk memastikan. Nama
yang tidak ada berarti tidak lulus. Bagaimana mungkin? Aku langsung
meneleponnya untuk memastikan.
“Halo?”
“Halo,
Rel. IPK mu berapa?”
“3,6”
“Bagaimana
kau tahu? Aku sudah mencari namamu berulang-ulang, tetapi tidak muncul” ucapku
dengan panik. Darrel diam sesaat, aku hanya menunggu jawabannya tanpa bicara
“Hmm
begitu? Tadi aku langsung diberitahu oleh dosen favoritku. Aku belum membukanya
lagi di internet, mungkin memang belum tercantum saja. Memang sering begitu,
bukan?”
“Oh
syukurlah. Tadinya kukira kau tidak lulus...” ucapku setelah menghembuskan
nafas panjang
“Hahaha
masa iya, lelaki baik dan taat beribadah sepertiku tidak lulus?” gumam Darrel.
Ia mulai narsis kembali
“Hah
kau ini, sudah ya. Bye, Rel!”
Klik.
***
Aku
dan Sean berjalan meyusuri kerumunan orang yang ingin menuju ruangan
masing-masing. Menunggu lift kosong adalah hal yang tidak wajib dilakukan saat
ini. Aku dan Sean memilih untuk menaiki tangga. Berhubung juga karena ruangan
kami yang tidak berada terlalu atas, yaitu di lantai 3. Saat tiba di lantai
dua, aku mendapatkan sesuatu yang menyita pandanganku. Lelaki itu... lelaki
dalam karikatur. Iya, tepat sekali. Namun, ia bersama dengan..... Darrel.
“Sean,
kau duluan saja. Ada urusan yang harus kuselesaikan.” Pintaku pada Sean
“Ok
kalau begitu. Hati-hati, Line” ucap Sean yang langsung melambaikan tangannya.
Aku langsung mendekat ke arah dua lelaki itu. Untungnya, mereka tidak mendengar
langkah kakiku. Mereka berada di dekat toilet. Tempat ini memang sepi, karena
hanya digunakan untuk ruang multimedia. Aku bersembunyi dibalik lemari di
belakang mereka.
“Kalau
sampai ada yang mengetahui hal ini, lebih baik mati saja kau!” seru lelaki
besar itu
“Apa
urusanmu lagi denganku? Aku bahkan sudah menyembunyikan semuanya. Aku rela
merubah identitas diriku hanya demi kau!” ucap Darrel dengan nada tinggi
“Apa
lagi? Apa lagi katamu? Intel bodoh itu bahkan sudah mengetahuiku! Mana usaha
yang kau bilang itu?”
“Dengar,
Rendy! Aku sudah muak dengan semua itu. Tuduhan itu hanya membuatku gila! Aku
bahkan tidak pernah bersalah dari awal” Darrel mendangakkan kepalanya.
Seakan-akan siap untuk menghabisi lelaki besar itu. Belum sempat aku melihat
apa yang terjadi selanjutnya, Azura menghubungiku. Akupun langsung beranjak
naik ke atas tangga agar suaraku tidak terdengar oleh lelaki besar dan Darrel.
“Halo?”
“Halo, Aline”
“Halo, Aline”
“Ada
apa, Zur?”
“Lelaki
dalam karikatur itu sudah hampir ditemukan. Tinggal bagaimana kita menyidang
mereka berdua. Karena ternyata pemakai narkoba itu hanya satu orang saja.”
Mulutku membulat. Apakah semua ini ada hubungannya dengan kejadian yang baru
saja aku lihat tadi? Tanpa basa-basi kembali, telepon kututup. Aku kaget
melihat Darrel yang sedang kewalahan menaiki tangga.
“Darrel!”
Ekspresi
wajah Darrel berubah, sepertinya ia tak kalah kaget melihat keberadaanku di
sana.
“Kau
kenapa, Rel?” tanyaku khawatir dengan pura-pura tidak tahu
“Bukan
urusanmu, Line” ucapnya yang berlanjut berjalan menyurusi tangga tanpa berhenti
sedikitpun untuk mendekatiku. Aku memaksakan diri untuk mengikutinya berjalan.
Padahal aku tahu bahwa mata kuliah sudah dimulai sekarang.
“Jangan
mengikutiku!” Aku tersentak. Emosi Darrel benar-benar tak terkendali. “Jangan
dekati aku lagi, Aline! Kumohon, kau tak pantas berada di dekatku!”
“Apa
salahku, Rel?”
“Salahmu
telah mengambil hatiku sejauh ini! Salahmu tak pernah mengingat siapa aku! Dan
salahmu telah meninggalkan aku!” aku benar-benar bingung. Tatapan khas yang
dari awal kutemui ini benar-benar membuatku tak tahu harus berbuat apa. Aku
tidak tau harus berkata apa lagi. Aku hampir menangis untuk mengerti arti dari
semua perkataan Darrel.
“Kita
hanya punya waktu besok malam. Tolong temani aku ke suatu tempat untuk terakhir
kalinya. Atau kau tak akan pernah lagi bertemu denganku” katanya dengan
terengah-engah. Ia langsung pergi meninggalkanku tanpa berbalik kembali.
***
Sidang
yang dilaksanakan oleh journalist club dimulai sore ini. Aku tidak dilibatkan
sebagai saksi mata. Oleh karena itu, Azura memintaku untuk tidak datang. Karena
sidang dilaksanakan tertutup oleh ketua, wakil, dan satu intel klub. Awalnya
aku merasa senang karena pelaku telah ditemukan. Namun ada hal yang sejak
kemarin menjanggal hatiku. Darrel.
***
“Maaf
membuatmu lama menunggu” ucap Darrel yang baru tiba di rumahku pukul setengah
sembilan malam.
“Iya
tidak apa-apa. Kita akan kemana?” tanyaku datar. Darrel tidak menjawab. Ia
masih serius memandangi jalan dan memutar-mutar stirnya. Suasana mobil Darrel
selalu menimbulkan rasa penasaran yang sangat jauh untukku. Terutama jam kecil
yang terletak di depan kaca mobil itu. Lagi-lagi, benda itu membuatku
menatapnya lebih lama. Sepertinya malam ini tidak akan indah. Untukku, untuk
Darrel, untuk kita.
Selang
waktu setengah jam, aku dan Darrel tiba di suatu tempat yang sepi. Darrel
membawaku ke danau yang orang-orang bilang adalah danau cinta. Sedikit gila
kedengarannya, namun tempat ini memang benar-benar menarik. Aku teringat
memoriku dulu. Sepertinya aku pernah menginjakkan kakiku ke tempat ini
sebelumnya. Tapi.... tapi kapankah itu?
Sebelum
turun dari mobil, Darrel mengambil jam kecil yang selama ini telah lama menyita
waktuku untuk memikirkannya. Lalu Darrel menggenggam tanganku dengan erat.
Belum pernah sebelumnya ia melakukan hal ini. Aku dan dia masih diam sambil
berjalan. Sampai akhirnya kami berhenti di suatu tempat yang lebih indah lagi.
Darrel membawaku menaiki balkon yang berada di pinggi danau. Terlihat lebih
jelas bulan sabit yang ada pada langit malam itu. Namun, aku tidak melihat ada
bintang di sana.
“Mengapa
kau membawaku ke tempat ini?” tanyaku
Darrel
tidak menjawab
“Rel,
ayolah! Ceritakan semuanya kepadaku! Aku benar-benar lelah mencari tahu apa
yang terjadi olehmu, apa yang kau maksud kemarin, dan apa yang membuatku
benar-benar tak tahu siapa dirimu!”
“Aline...”
aku terkejut. Darrel telah membulatkan tangannya ke tubuhku. Pelukan itu.
Pelukan yang sebelumnya pernah kurasakan. Dan kini pelukan itu terasa lebih
hangat.
“Sesulit
itukah kau mengingatku, Line? Sesulit itu?!” bentak Darrel yang setengah
mendorong bahuku.
“Aku
bahkan....” aku tersendat “Aku bahkan sudah muak untuk mengingat semua yang ada
pada dirimu. Aku benar-benar tidak ingat. Aku benar-benar kelelahan untuk
mencari tahu siapa yang memiliki tatapanmu itu! Jam kecil itu! Pelukan itu!
Darrel.....” aku terisak. Air mataku tak mampu kubendung kembali
“Aline....
Dengarkan aku,” ucap Darrel dalam-dalam “Besok aku sudah ditahan jeruji besi.
Aku sudah menjadi tersangka pengedar narkoba..”
“Darrel....”
“Sesungguhnya
aku bukanlah orangnya, tetapi Rendy, teman kecil kita dulu”
Teman
kecil? Apa yang Darrel maksud?
“Rendy
menyukaimu. Setelah aku tahu kau memasuki kampus yang sama dengan kami, kami
mengejar kamu, Line. Rendy sudah lama menjadi pengguna, dan karena dendam di
masa lalu, Rendy menyuruhku untuk mendekatkan dirinya padamu. Jika tidak, aku
akan dijadikan relawan untuk menggantikannya sebagai tersangka narkotika di
kampus.” Darrel menarik nafas. “Setelah kejadian kita saat tertabrak itu, aku
merasa berubah pikiran. Awalnya aku bermain dibelakangnya untuk mendekatimu.
Tetapi ternyata lama kelamaan ia mengetahui kedekatan kita yang semakin jauh.
Sampai akhirnya, aku rela dijadikan tersangka hanya demi kamu, Aline Hiromata
Mustika”
Air
mataku jatuh kembali. Teman kecil. Dendam masa lalu. Aku semakin mengingat
siapa dirinya. Rendy. Dan apa itu masa lalu
“Kau.....”
“Aku
Kennard, Line. Aku menyamarkan namaku agar tak ada satupun orang yang tahu
siapa aku. Termasuk kau”
“Kennard
Mick Johnson? Ken? Kau Ken? Katakan padaku kau Ken!”
“Aku
senang kau mengenalku, Aline. Namun semua sudah terlambat, kita tak harus
bertemu lagi. Biarlah masa-masa di sekolah menengah dulu berlalu. Aku tak ingin
membuatmu sakit lagi.” Ucap Ken lirih “Aku sangat mencintaimu, dari dulu sampai
sekarang, Line”
Aku
membeku. Ken. Kennard. Kekasihku di masa sekolah dulu. Tatapan itu, tatapan
yang selalu membuatku tak dapat melawan dirinya. Jam kecil yang terdapat bentuk
A&K itu. Aline dan Kennard. Jam yang dulu kuberikan padanya. Pelukan itu.
Pelukan yang dulu kurasakan hanya sekali selama berpacaran. Aku ingat. Aku
ingat semua itu. Aku ingat semua itu setelah Darrel memberi tahu bahwa ia
Kennard. Kennard yang sangat kucintai. Ia benar, aku telah melupakannya terlalu
cepat.
“Aku
tidak akan membiarkanmu masuk ke penjara, Ken!” seru diriku “aku anggota
journalist club. Aku intel dari klub. Dan aku akan memberikan banyak bukti pada
klub
“Aline,
itu tidak mungkin. Rendy..”
“Jangan
pikirkan Rendy! Kumohon, ini semua demi kamu, aku, dan kita, Ken!”
Kennard
tidak berkata apapun.
“Terimakasih
telah mengingatku dan mencintaiku sampai sejauh ini, Ken” ucapku lirih. Kennard
menatapku dalam-dalam
“Kalau
kau benar bisa membebaskanku...” Ken
berhenti sejenak “Kumohon lalui waktumu bersamaku lagi seperti dulu,
Line”
Aku
tersenyum. Kurasa permohonan itu tak perlu jawaban ya atau tidak. Yang ada
hanya keikhlasan untuk kembali lagi seperti dahulu.
Ken,
aku bersyukur telah bertemu lagi denganmu saat ini.
Akhirnya, aku bisa mengingat tatapan itu kembali