Twitter

Sunday, February 17, 2013

I Met You - II


Darrel... Darrel... Aku tak tahu mengapa rasa penasaran ini kembali menyelimutiku. Kuingat-ingat nama sederet kawan lamaku. Rasanya tak ada satupun yang bernama Darrel. Nama itu begitu asing, namun mengapa tatapannya sangat akrab? Mengingatnya benar-benar membuatku semakin gila. Mengetahui namanya bahkan membuatku tambah dilanda penasaran yang sangat tinggi. Aku tidak bisa menanyakan hal ini pada siapapun. Apalagi Sean, dia bahkan baru bertatap wajah dengan Darrel semenjak kejadian dua hari yang lalu.

Komunitas kampus semakin lama semakin banyak. Tanpa kuketahui, ternyata Sean memasukkanku ke dalam journalist club. “Kau harus mau peduli dengan lingkungan kampus, satu-satunya cara hanya ini, Line. Memasukkanmu ke dalam klub pencari berita.” Begitu katanya ketika aku memprotesnya. Selama ini aku memang cenderung tidak memerdulikan apapun yang terjadi di lingkungan kampus. Apalagi mahasiswi yang suka bergossip tidak benar, aku paling tidak suka. Namun, mau tidak mau aku harus peduli saat ini. Menjadi bagian dari journalist club adalah suatu hal yang tidak bisa dianggap remeh. Setiap bulannya, aku harus mencoba untuk mencari berita tentang perkuliahan dan masalah-masalah dalam kampusku sendiri. Yang nantinya, semua berita itu akan dikemas dalam suatu buletin dan majalah. Untuk bisa melakukan semua itu, aku berusaha niatkan dalam diriku untuk bisa mencari info sebanyak-banyaknya. Karena semua ini adalah tanggung jawab dalam diriku.

Hari pertama dalam journalist club, aku sudah diperintahkan sesuatu yang cukup berat. Azura, ketua klub, memintaku untuk mencari tahu tentang mahasiswa yang diduga sebagai pemakai narkoba. Aku baru tahu, menjadi bagian dari klub ini bukan hanya sebagai pencari berita, tetapi juga menjadi intel. Yang nantinya, jika aku sudah dapat informasi tentang ini, sang pemakai akan dilaporkan ke pihak yang berwajib. Benar-benar tugas yang merepotkan.
“Line, bagaimana berada di journalist club?” tanya Sean yang berada di depanku saat ini. Kami berdua sedang makan di foodcourt dekat rumah Sean.
“Biasa saja” jawabku apa adanya
“Kau ini, dapat tugas apa?”
“Sebagai intel”
“Hah?”
“Iya, sebagai intel.”
“Mengapa kamu memberitahuku?”
“Sean, aku tahu semua tentangmu. Masa iya aku harus menyembunyikan misiku ini darimu?” ucapku sambil melahap nasi dan sesuir bebek goreng
“Hmmm, apa misimu?”
“Mencari info tentang pemakai itu. Seperti yang pernah kau bilang kepadaku. Oya, memangnya kau sudah tahu siapa orangnya?”
“Belum, yang jelas aku dengar-dengar, ia anak fakultas hukum.”
Aku membulatkan mulutku sedikit. Anak fakultas hukum ada saja yang berani melakukan penyimpangan sosial seperti itu
***
“Kau bilang apa?!” Bentak seorang lelaki di halaman belakang kampus
“Tidak, aku tidak bilang apa-apa”
“Jangan menuduh sembarangan!” Seru lelaki yang tidak asing di mataku. Ia langsung melemparkan kerah baru lelaki di depannya dengan sangat kuat. Aku tidak tahu apa yang baru saja mereka bicarakan sebelum aku menguping. Sebagai intel baru, aku merasa tertarik untuk memata-matai lelaki yang kerahnya baru saja dilemparkan itu. Kuikuti langkahnya dari belakang, tentunya dengan pelan-pelan. Baru dua langkah kuberjalan, seseorang yang suaranya masih terngiang di telingaku, memanggil
“Hey!” serunya
Aku kaget. Darrel menatapku tajam-tajam. Matanya seolah-olah melarangku untuk mengikuti jejak lelaki tadi.
“Kau mau apa?”
“Mengikuti.... mengikuti laki-laki itu” jawabku dengan jujur
“Jangan! Dia intel baru di kampus ini. Sekali saja kau mengajaknya bicara, pasti ia akan menanyakanmu hal-hal privasi yang seharusnya tidak kau  ceritakan”
Aku tercengang. Intel baru? Kalau dia intel baru, berarti ia rekan klubku. Namun, sebagai intel baru yang lebih cerdas, aku berusaha menyembunyikan diri bahwa aku adalah intel. Karena dimana-mana, intel memang tidak ada yang pernah tahu.
“Kau tahu, Line? Ia menyangka aku merubah-rubah namaku. Ia menuduhku sebagai pemakai narkoba. Yang benar saja? Masa iya anak FH sepertiku pemakai narkoba. Cuih. Fitnah besar” Mataku membulat. Sasaran yang tepat, batinku.
“Iya? Parah sekali anak itu. Tapi memangnya benar ya, ada anak fakultas hukum yang diduga sebagai pemakai?” tanyaku pura-pura tidak tahu
“Katanya sih begitu, tapi aku tidak tahu siapa orangnya” jawabnya acuh. Ia langsung mengajakku untuk ke kantin kampus sekedar membeli minum. Sepertinya ia sedang tidak mau diajak banyak bicara. Jadi, aku hanya berusaha untuk diam dan menenangkan hatinya.
***
Hari-hariku dipadatkan oleh kegiatan dan tugas-tugas kampus. Berada dalam journalist club sudah membuatku semakin berbaur. Aku menjadi tahu banyak hal tentang kampus ini. Walaupun tugas utamaku sendiri belum terpenuhi. Sean sangat senang dengan perubahan yang ada pada diriku ini. Ia selalu mendukungku untuk menjadi wartawan kecil-kecilan. Mungkin hanya aku satu-satunya mahasiswi fakultas ekonomi yang menjadi bagian dari club. Semuanya berasal dari jurusan reportasi atau jurnalistik. Semakin hari, aku semakin dekat dengan Darrel. Kalau Sean sedang tidak bisa mengantarku pulang, biasanya Darrel lah yang mengantarku. Ternyata, kejadian tertabrak kecil-kecilan saat itu bukannya menimbulkan sakit, malah menimbulkan kesenangan. Banyak hal yang memang membuatku merasa nyaman bersamanya. Dan tentu, tatapan khas itu belum pernah hilang.

Siang itu, Azura memperlihatkan kepadaku sebuah karikatur orang yang tersangka memakai narkoba. Ada dua orang. Karikatur yang pertama berbadan besar, tinggi, dan seram. Aku tidak dapat membacanya dengan jelas. Karikatur yang kedua bahkan lebih tidak jelas lagi. Berbadan sedang, tinggi, dan kurus. Namun aku merasa bisa membaca karikatur itu. Yang aku butuhkan adalah melihat langsung foto dari tersangka itu.
“Inisial mereka R dan K” ucap Azura memberi tahu
“Kau dapat ini darimana, Zur?” tanyaku penasaran
“Andik, intel dari jurnalistik yang rela-relaan untuk mencari tahu ini. Bahkan, ia sampai dihabisi oleh salah satu dari tersangka ini.” Jelas Azura
“Dihabisi?” tanyaku untuk meyakinkan. Belum sempat Azura menjawab, Andik yang dimaksud olehnya masuk ke ruangan.
“Hey, Andik! Ini Aline, anggota baru kita” jelas Azura kepada kami berdua. Tunggu sebentar, rasanya aku baru bertemu lelaki ini beberapa hari yang lalu.
“Hai, Aline! Salam kenal” Ucapnya yang langsung mengulurkan tangan untuk menjabat tangan. Aku yang sedang mengingat-ingat, hanya tersenyum ramah.

Aku ingat! Aku ingat bahwa Andik adalah lelaki yang dilemparkan kerahnya oleh Darrel beberapa hari yang lalu. Tapi mengapa Darrel melakukan itu?
***
Hari ini adalah pengumuman hasil ujian semester. Mahasiswa-mahasiswi ribut melihat IPK-nya di internet maupun majalah dinding. Aku baru mau melihatnya melalui laptopku. Sean bilang, ia sudah melihat dan IPK-nya 3,25. Saat aku melihat, ternyata IPK milikku 3,5. Aku sangat senang dengan hasil itu. Walaupun tidak paling tinggi, namun aku tetap bangga. Setelah melihat milikku, aku memilih untuk melihat milik Darrel. Kucari nama lengkapnya, Darrel Ihsan Harahap. Tetapi.... tetapi nama itu tidak ada. Kucari sekali lagi untuk memastikan. Nama yang tidak ada berarti tidak lulus. Bagaimana mungkin? Aku langsung meneleponnya untuk memastikan.
“Halo?”
“Halo, Rel. IPK mu berapa?”
“3,6”
“Bagaimana kau tahu? Aku sudah mencari namamu berulang-ulang, tetapi tidak muncul” ucapku dengan panik. Darrel diam sesaat, aku hanya menunggu jawabannya tanpa bicara
“Hmm begitu? Tadi aku langsung diberitahu oleh dosen favoritku. Aku belum membukanya lagi di internet, mungkin memang belum tercantum saja. Memang sering begitu, bukan?”
“Oh syukurlah. Tadinya kukira kau tidak lulus...” ucapku setelah menghembuskan nafas panjang
“Hahaha masa iya, lelaki baik dan taat beribadah sepertiku tidak lulus?” gumam Darrel. Ia mulai narsis kembali
“Hah kau ini, sudah ya. Bye, Rel!”
Klik.
***
Aku dan Sean berjalan meyusuri kerumunan orang yang ingin menuju ruangan masing-masing. Menunggu lift kosong adalah hal yang tidak wajib dilakukan saat ini. Aku dan Sean memilih untuk menaiki tangga. Berhubung juga karena ruangan kami yang tidak berada terlalu atas, yaitu di lantai 3. Saat tiba di lantai dua, aku mendapatkan sesuatu yang menyita pandanganku. Lelaki itu... lelaki dalam karikatur. Iya, tepat sekali. Namun, ia bersama dengan..... Darrel.
“Sean, kau duluan saja. Ada urusan yang harus kuselesaikan.” Pintaku pada Sean
“Ok kalau begitu. Hati-hati, Line” ucap Sean yang langsung melambaikan tangannya. Aku langsung mendekat ke arah dua lelaki itu. Untungnya, mereka tidak mendengar langkah kakiku. Mereka berada di dekat toilet. Tempat ini memang sepi, karena hanya digunakan untuk ruang multimedia. Aku bersembunyi dibalik lemari di belakang mereka.
“Kalau sampai ada yang mengetahui hal ini, lebih baik mati saja kau!” seru lelaki besar itu
“Apa urusanmu lagi denganku? Aku bahkan sudah menyembunyikan semuanya. Aku rela merubah identitas diriku hanya demi kau!” ucap Darrel dengan nada tinggi
“Apa lagi? Apa lagi katamu? Intel bodoh itu bahkan sudah mengetahuiku! Mana usaha yang kau bilang itu?”
“Dengar, Rendy! Aku sudah muak dengan semua itu. Tuduhan itu hanya membuatku gila! Aku bahkan tidak pernah bersalah dari awal” Darrel mendangakkan kepalanya. Seakan-akan siap untuk menghabisi lelaki besar itu. Belum sempat aku melihat apa yang terjadi selanjutnya, Azura menghubungiku. Akupun langsung beranjak naik ke atas tangga agar suaraku tidak terdengar oleh lelaki besar dan Darrel.
“Halo?”
“Halo, Aline”
“Ada apa, Zur?”
“Lelaki dalam karikatur itu sudah hampir ditemukan. Tinggal bagaimana kita menyidang mereka berdua. Karena ternyata pemakai narkoba itu hanya satu orang saja.” Mulutku membulat. Apakah semua ini ada hubungannya dengan kejadian yang baru saja aku lihat tadi? Tanpa basa-basi kembali, telepon kututup. Aku kaget melihat Darrel yang sedang kewalahan menaiki tangga.
“Darrel!”
Ekspresi wajah Darrel berubah, sepertinya ia tak kalah kaget melihat keberadaanku di sana.
“Kau kenapa, Rel?” tanyaku khawatir dengan pura-pura tidak tahu
“Bukan urusanmu, Line” ucapnya yang berlanjut berjalan menyurusi tangga tanpa berhenti sedikitpun untuk mendekatiku. Aku memaksakan diri untuk mengikutinya berjalan. Padahal aku tahu bahwa mata kuliah sudah dimulai sekarang.
“Jangan mengikutiku!” Aku tersentak. Emosi Darrel benar-benar tak terkendali. “Jangan dekati aku lagi, Aline! Kumohon, kau tak pantas berada di dekatku!”
“Apa salahku, Rel?”
“Salahmu telah mengambil hatiku sejauh ini! Salahmu tak pernah mengingat siapa aku! Dan salahmu telah meninggalkan aku!” aku benar-benar bingung. Tatapan khas yang dari awal kutemui ini benar-benar membuatku tak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tau harus berkata apa lagi. Aku hampir menangis untuk mengerti arti dari semua perkataan Darrel.
“Kita hanya punya waktu besok malam. Tolong temani aku ke suatu tempat untuk terakhir kalinya. Atau kau tak akan pernah lagi bertemu denganku” katanya dengan terengah-engah. Ia langsung pergi meninggalkanku tanpa berbalik kembali.
***
Sidang yang dilaksanakan oleh journalist club dimulai sore ini. Aku tidak dilibatkan sebagai saksi mata. Oleh karena itu, Azura memintaku untuk tidak datang. Karena sidang dilaksanakan tertutup oleh ketua, wakil, dan satu intel klub. Awalnya aku merasa senang karena pelaku telah ditemukan. Namun ada hal yang sejak kemarin menjanggal hatiku. Darrel.
***
“Maaf membuatmu lama menunggu” ucap Darrel yang baru tiba di rumahku pukul setengah sembilan malam.
“Iya tidak apa-apa. Kita akan kemana?” tanyaku datar. Darrel tidak menjawab. Ia masih serius memandangi jalan dan memutar-mutar stirnya. Suasana mobil Darrel selalu menimbulkan rasa penasaran yang sangat jauh untukku. Terutama jam kecil yang terletak di depan kaca mobil itu. Lagi-lagi, benda itu membuatku menatapnya lebih lama. Sepertinya malam ini tidak akan indah. Untukku, untuk Darrel, untuk kita.

Selang waktu setengah jam, aku dan Darrel tiba di suatu tempat yang sepi. Darrel membawaku ke danau yang orang-orang bilang adalah danau cinta. Sedikit gila kedengarannya, namun tempat ini memang benar-benar menarik. Aku teringat memoriku dulu. Sepertinya aku pernah menginjakkan kakiku ke tempat ini sebelumnya. Tapi.... tapi kapankah itu?

Sebelum turun dari mobil, Darrel mengambil jam kecil yang selama ini telah lama menyita waktuku untuk memikirkannya. Lalu Darrel menggenggam tanganku dengan erat. Belum pernah sebelumnya ia melakukan hal ini. Aku dan dia masih diam sambil berjalan. Sampai akhirnya kami berhenti di suatu tempat yang lebih indah lagi. Darrel membawaku menaiki balkon yang berada di pinggi danau. Terlihat lebih jelas bulan sabit yang ada pada langit malam itu. Namun, aku tidak melihat ada bintang di sana.
“Mengapa kau membawaku ke tempat ini?” tanyaku
Darrel tidak menjawab
“Rel, ayolah! Ceritakan semuanya kepadaku! Aku benar-benar lelah mencari tahu apa yang terjadi olehmu, apa yang kau maksud kemarin, dan apa yang membuatku benar-benar tak tahu siapa dirimu!”
“Aline...” aku terkejut. Darrel telah membulatkan tangannya ke tubuhku. Pelukan itu. Pelukan yang sebelumnya pernah kurasakan. Dan kini pelukan itu terasa lebih hangat.
“Sesulit itukah kau mengingatku, Line? Sesulit itu?!” bentak Darrel yang setengah mendorong bahuku.
“Aku bahkan....” aku tersendat “Aku bahkan sudah muak untuk mengingat semua yang ada pada dirimu. Aku benar-benar tidak ingat. Aku benar-benar kelelahan untuk mencari tahu siapa yang memiliki tatapanmu itu! Jam kecil itu! Pelukan itu! Darrel.....” aku terisak. Air mataku tak mampu kubendung kembali
“Aline.... Dengarkan aku,” ucap Darrel dalam-dalam “Besok aku sudah ditahan jeruji besi. Aku sudah menjadi tersangka pengedar narkoba..”
“Darrel....”
“Sesungguhnya aku bukanlah orangnya, tetapi Rendy, teman kecil kita dulu”
Teman kecil? Apa yang Darrel maksud?
“Rendy menyukaimu. Setelah aku tahu kau memasuki kampus yang sama dengan kami, kami mengejar kamu, Line. Rendy sudah lama menjadi pengguna, dan karena dendam di masa lalu, Rendy menyuruhku untuk mendekatkan dirinya padamu. Jika tidak, aku akan dijadikan relawan untuk menggantikannya sebagai tersangka narkotika di kampus.” Darrel menarik nafas. “Setelah kejadian kita saat tertabrak itu, aku merasa berubah pikiran. Awalnya aku bermain dibelakangnya untuk mendekatimu. Tetapi ternyata lama kelamaan ia mengetahui kedekatan kita yang semakin jauh. Sampai akhirnya, aku rela dijadikan tersangka hanya demi kamu, Aline Hiromata Mustika”
Air mataku jatuh kembali. Teman kecil. Dendam masa lalu. Aku semakin mengingat siapa dirinya. Rendy. Dan apa itu masa lalu
“Kau.....”
“Aku Kennard, Line. Aku menyamarkan namaku agar tak ada satupun orang yang tahu siapa aku. Termasuk kau”
“Kennard Mick Johnson? Ken? Kau Ken? Katakan padaku kau Ken!”
“Aku senang kau mengenalku, Aline. Namun semua sudah terlambat, kita tak harus bertemu lagi. Biarlah masa-masa di sekolah menengah dulu berlalu. Aku tak ingin membuatmu sakit lagi.” Ucap Ken lirih “Aku sangat mencintaimu, dari dulu sampai sekarang, Line”
Aku membeku. Ken. Kennard. Kekasihku di masa sekolah dulu. Tatapan itu, tatapan yang selalu membuatku tak dapat melawan dirinya. Jam kecil yang terdapat bentuk A&K itu. Aline dan Kennard. Jam yang dulu kuberikan padanya. Pelukan itu. Pelukan yang dulu kurasakan hanya sekali selama berpacaran. Aku ingat. Aku ingat semua itu. Aku ingat semua itu setelah Darrel memberi tahu bahwa ia Kennard. Kennard yang sangat kucintai. Ia benar, aku telah melupakannya terlalu cepat.
“Aku tidak akan membiarkanmu masuk ke penjara, Ken!” seru diriku “aku anggota journalist club. Aku intel dari klub. Dan aku akan memberikan banyak bukti pada klub
“Aline, itu tidak mungkin. Rendy..”
“Jangan pikirkan Rendy! Kumohon, ini semua demi kamu, aku, dan kita, Ken!”
Kennard tidak berkata apapun.
“Terimakasih telah mengingatku dan mencintaiku sampai sejauh ini, Ken” ucapku lirih. Kennard menatapku dalam-dalam
“Kalau kau benar bisa membebaskanku...” Ken  berhenti sejenak “Kumohon lalui waktumu bersamaku lagi seperti dulu, Line”
Aku tersenyum. Kurasa permohonan itu tak perlu jawaban ya atau tidak. Yang ada hanya keikhlasan untuk kembali lagi seperti dahulu.

Ken, aku bersyukur telah bertemu lagi denganmu saat ini.
Akhirnya, aku bisa mengingat tatapan itu kembali

Friday, February 15, 2013

I Met You - I


Tuk... Tuk....
Sepatu Mr. Smith sangat terdengar jelas bercampur dengan suaranya yang mengisi ruangan penuh. Sean malah asik dengan gadget nya sendiri. Maklum saja, Mr.Smith bukan seorang dosen yang tergolong keras. Lelaki campuran Indo-Jerman ini sangat santai dalam mengajar. Namun aku tetap mencoba untuk memperhatikan.

Selesai pembelajaran, seisi ruangan berhamburan keluar. Namun aku dan Sean tetap duduk di ruangan menunggu pintu sampai terlihat sepi.
“Aline, kau tahu tidak? Anak fakultas hukum ada yang diduga sebagai pemakai....”
“Pemakai? Pemakai apa?” tanyaku datar
“Narkoba, tapi belum diketahui lebih jauh narkoba jenis apa. Coba lihat ini deh..” Ucap Sean sambil memperlihatkan Iphone-nya. Aku sama sekali tidak tertarik dengan rumor kampus seperti ini
“Hah sudahlah, paling hanya rumor biasa”
“Ih, kamu ga perduli banget deh sama masalah sosial kaya gini”
“Masalah sosial katamu? Ini namanya gossip, Sean Nirmata” gumamku setengah meledek. “Sudah, yuk”

***
Aku dan Sean berjalan di halaman kampus menuju daerah parkir mobil. Hari ini Sean membawa mobil. Karena jarak rumah kami yang tidak terlalu jauh, jadi aku menumpang bersamanya.
“Line, bagaimana kalau kita makan di restaurant samping kampus dulu? Aku lapar nih”
“Aku sih mau saja, tapi sebelum jam 2 aku harus sudah pulang”
“Memangnya jam 2 ada apa?”
“Ibu kosku bilang kalau....”
“AHHH”
Tiba-tiba saja, seorang mahasiswa yang menggunakan motor ninja menabrak sebagian tubuhku. Bahuku seperti hampir copot, bahkan tanganku tidak bisa digerakkan.
“Maaf.... Maaf kau tidak apa-apa, kan?” tanya mahasiswa itu sehabis memberhentikan motornya dan menghampiriku. Ia membuka kaca helmnya sehingga hanya terlihat sebagian wajahnya. Aku sangat terkejut melihat lelaki itu. Matanya. Aku seperti melihat tatapan yang khas yang sering kulihat sebelumnya. Aku memandangnya beberapa detik, hingga rasa sakit di bahuku terasa kembali.
“T..t.. tidak. Aku tidak apa-apa” ucapku berbohong. Sekarang giliran raut wajah lelaki itu yang berubah. Aku bisa menjamin ia memikirkan apa yang baru saja kupikirkan. Aku masih setengah terduduk di aspal. Sean yang melihat kejadian ini langsung mengangkat alis.
“Hei, kau! Hati-hati kalau berkendara. Sudah tahu trotoar, masih saja dipakai untuk berjalan! Bagaimana sih?!”
“Iya aku minta maaf, kalau memang harus dibawa ke rumah sakit, aku bersedia mengantar” Tawar lelaki itu
“Tidak, tidak usah. Ini hanya memar sedikit saja, kok.” Ucapku menolak. Aku tidak ingin ini menjadi masalah yang berkepanjangan. Biarlah didiamkan beberapa hari, bahu dan lengan kanan ini akan sembuh kelak.
“Sekali lagi aku minta maaf, tadi sedang terburu-buru. Semoga.... Semoga kau cepat sembuh” lelaki itu tersenyum tipis dan langsung membalikkan badannya. Gayanya berjalan, caranya berbicara, hingga tatapan matanya sangat tidak asing lagi bagiku. Aku masih berusaha mengingat-ingat siapa lelaki itu. Sampai rasanya aku kehilangan cara bagaimana untuk menemukan lelaki itu dalam memoriku.
***
Pagi itu aku dan Sean sama-sama tidak ada mata kuliah. Kami berdua memilih untuk hangout ke mall berhubung hari itu adalah hari Sabtu. Sean menjemputku pukul 10.00 pagi. Tempat pertama yang kukunjungi dalam mall itu adalah toko buku. Banyak buku-buku kuliah yang harus kubeli. Menjadi mahasiswi fakultas ekonomi memang pilihanku sejak awal, sehingga beban apapun yang kurasakan selama kuliah benar-benar tidak terasa. Lain halnya dengan Sean, sejak awal ia ingin berasa di jurusan psikologi. Tetapi karena paksaan dari orangtuanya, sampailah ia ke dalam fakultas ekonomi. Berbanding terbalik denganku, beban apapun yang ia rasakan selama kuliah benar-benar sangat terasa.

Jarum jam sudah menunjukkan ke angka 5. Tidak terasa aku dan Sean sudah sangat lama berada dalam mall itu. Ini memang rutinitas yang biasa kita lakukan sebulan sekali. Mencari buku-menonton film-makan-menonton film lagi-mencari buku lagi. Walaupun selama hangout ini aku berkali-kali meringis kesakitan karena kejadian kemarin, namun aku tetap merasa senang. Seharusnya saat ini aku mencari buku lagi, tetapi Sean bilang ia harus pulang untuk menjemput adiknya yang sedang berada di sekolah. Mau tidak mau, aku pun harus pulang sendiri. Aku pun keluar mall dan berniat untuk mencari taksi. Namun, belum lama aku melangkah, sesosok lelaki yang sedang kesulitan merapikan barang belanjaan yang jatuh menyita pandanganku. Kuhampiri lelaki itu.
“Ada yang bisa kubantu?” tanyaku. Lelaki itu mendangakkan kepalanya dan menatapku tajam. Tatapan itu. Tatapan itu yang membuatku kelelahan untuk mengingat siapa dirinya. Lelaki yang baru saja kutemui kemarin, sekarang berada tepat didepanku lagi.
“Ha?”
“Ada yang bisa kubantu? Mengapa bisa jatuh?” tanyaku berusaha untuk bersikap ramah
“Tidak, tidak usah” tolaknya “tadi kakiku tersandung batu besar ini dan akupun terjatuh ke aspal” jelasnya singkat sambil menunjuk ke arah batu besar itu. Aku tidak menghiraukan tolakannya, kuambil beberapa barang belanjaan yang masih tercecer di aspal itu.
“Maaf merepotkanmu, terima kasih banyak” ucap lelaki itu tegas. “mungkin ini karma dari perbuatanku padamu kemarin” lanjutnya setengah bercanda. Kedua tangannya memegang bagpack belanjaan yang baru saja dirapikan.
“Sama-sama. Ah tidak, itu hanya kebetulan saja” gumamku yang terlihat gugup
“Ngomong-ngomong, kau sendirian?”
“Iya, tadinya bersama temanku tapi ia harus pergi untuk urusannya. Kau sendiri?” ucapku berbalik tanya
“Sendiri juga, bagaimana kalau aku mengantarmu pulang? Mobilku ada di parkiran ujung. Kau tunggu disini saja. Aku akan membawa mobilku ke sini” Tawarnya tanpa meminta persetujuan. Bahkan aku belum menjawab apa-apa. Entah apa yang membuatku benar-benar percaya bahwa lelaki itu memang orang baik-baik. Selang lima menit, ia membawa Honda Freed nya ke hadapanku. Dibukakannyalah pintu mobil itu olehnya. Saat aku memasuki mobilnya, aku melihat benda yang tak asing juga dimataku. Sebuah jam meja kecil yang tepat berada di kanan depan stir mobilnya. Tanpa kusadari, mobil itu telah dibawanya melaju.
“Rumahku di Griya Indah I3 nomor 9” ucapku tanpa ditanya
“Oh iya! Aku sampai lupa bertanya” katanya setengah tertawa. Akupun ikut tertawa kecil. Pandanganku kembali pada jam itu. Jam yang terdapat bentuk gabungan huruf A dan K. Namun pikiranku buyar setelah lelaki itu menyalakan tape di mobilnya. The Man who Can’t Be Moved – The Script

Going Back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag I'm not gonna move
Got some words on cardboard, got your picture in my hand
Saying, "If you see this girl can you tell her where I am? "

Some try to hand me money, they don't understand
I'm not broke I'm just a broken hearted man
I know it makes no sense but what else can I do
How can I move on when I'm still in love with you

'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinkin maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on the corner of the street
So I'm not moving, I'm not moving

Policeman says, "Son you can't stay here"
I said, "There's someone I'm waiting for if it's a day, a month, a year"
Gotta stand my ground even if it rains or snows
If she changes her mind this is the first place she will go
Aku berusaha memecahkan keheningan di tengah lagu.
“Kau suka The Script?”
“Begitulah, walaupun lagu-lagunya jarang menjadi hits, tapi aku sangat suka”
“Oh”
“Kalau kau?”
“Lumayan, tapi sayang aku belum pernah menonton konsernya” ucapku setengah bercerita
“Tidak apalah, aku juga belum pernah. Tidak mau malah”
“Kenapa?”
“Menonton konser sama saja menjadi idola fanatik. Dan aku tidak termasuk itu”
“Oh..” mulutku membulat kecil. Aku memang menyukai band ini. Benar katanya, walaupun jarang menjadi hits, tetapi aku tetap suka sekali.

Tak terasa, 20 menit sudah perjalananku dari mall menuju rumah. Lelaki itu sangat menyenangkan. Aku rasa ini bukanlah yang pertama kalinya aku merasa seakrab itu dengannya. Tapi selain ini, kapan? Lelaki itu keluar dari pintu mobilnya dan membukakan pintu mobilnya untukku.
“Terimakasih banyak...” ucapku dengan lirih
“Sama-sama, anggap saja permintaan maafku untuk yang kemarin. Eh, ngomong-ngomong tanganmu masih sakit?” Tanyanya yang berubah nada menjadi khawatir
“Sedikit... tapi tidak apa-apa kok.” Jawabku dengan yakin
“Ah aku benar-benar minta maaf”
“Iya tidak apa. Oya, namamu siapa? Daritadi kita belum berkenalan”
“Namaku?” tanyanya balik. Aku pun hanya mengangguk.
“Darrel” yang mendengar itu, aku tersenyum. Ia menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku. Aku menerimanya
“Aline” Darrel terdiam. Ia seperti dikejutkan dengan sesuatu. Entah mengapa, perasaan aneh yang muncul sejak kemarin pada diriku sudah menghilang sedikit demi sedikit. Mungkin semua itu hanya perasaan saja atau bahkan kebetulan. Aku belum pernah mengenal nama Darrel sebelumnya.
“Kau Aline?” aku mengangguk. Raut wajah Darrel benar-benar berubah drastis. Tingkat keheranannya semakin terlihat.
“Aku... Aku pulang dulu. Bye, Aline” Ucapnya sambil melambaikan satu tangannya. Kembali kurasakan, tatapan itu tetap ada.

Saturday, February 9, 2013

James Tripicasso

Di suatu negara bagian terpencil, Wessehampton, lahirlah seorang pemuda sederhana yang bermimpi bisa menjadi seorang presiden. James Siem Tripicasso, yang akrab disapa James. Pemuda ini menjalankan hari-harinya dengan kesederhanaannya. Kedua orangtua yang telah tiada membuatnya lebih dewasa dalam berpikir. Walaupun begitu, ia juga meiliki otak yang cerdas dan mampu berargumen. Ketika berumur 29 tahun ia menikahi gadis sebayanya yang bernama Lou-Eva Maelyn yang biasa disapa Maelyn. Wanita anggun yang pendiam ini memang kerap kali bersama James sejak lama. walaupun keadaan ekonomi James yang tergolong rendah, Maelyn tetap setia menemani hidup James.

Saat James memasuki umurnya yang ke-35, terbukalah kesempatan untuknya menjadi seorang pemimpin negara. Ia bertemu dengan Mick, pemimpin partai politik terkenal di Wessehampton. Mick yang menganggap James mampu menjadi seorang pemimpin berawal dari melihat karya sastra yang dibuat oleh James yang selalu mengangkat masalah politik. Tak kecil kemungkinan bahwa James merupakan pemuda yang memiliki pola pikir luar biasa. Selama ini, Wessehampton dipimpin oleh presiden yang tak tahan suap. Uang rakyat yang seharusnya diberikan, habis dimakan sendiri. Janji-janji manis diawal membuat rakyat bodoh selalu memercayainya. Hingga tak pernah terwujudlah impian negara utuk maju. James memuat banyak pendapatnya dalam karya sastra miliknya tentang semua itu. Mick pun tanpa pikir panjang langsung memberinya tawaran yang harus diberi kepastian kurang dari tiga hari.

Menjadi presiden adalah impian James sejak kecil. Jiwa kepemimpinannya yang selalu terlihat membuat orang-orang sekitarnya selalu mendukung. Namun, James meminta pendapat Maelyn akan hal ini.
"Maelyn, kemarin aku mendapat tawaran untuk mencalonkan diri sebagai presiden" ucap James
"Siapa yang memberi tawaran itu wahai suamiku?"
"Mr.Mick, ketua parpol wessebit."
"Aku tidak bisa menerimamu untuk menjadi presiden"
 James yang mendengar itu sangat kaget. Ia tak menyangka istri kesayangannya akan berkata seperti itu
"Bagaimana mungkin, istriku? Ini adalah impianku sejak lama"
"Iya aku tahu, tapi dunia politik negara kita ini keras, James. apakah kau mau menjadi bahan olok-olok masyarakat ketika kau berbuat kesalahan? dan apakah kau siap untuk difitnah jika kau selalu berbuat kebaikan?"
James terdiam sejenak. Maelyn berpikiran jauh akan hal ini. Bagi James, semua pertanyaan yang baru saja dilontarkan itu sungguh sangat membingungkan. hingga akhirnya ia tak menjawab dan lekas tidur untuk menenangkan diri.

Keesokan harinya, James pergi untuk menemui Mick. Namun bukan untuk memberi keputusan, melainkan untuk menceritakan semua yang telah diucapkan oleh Maelyn. Mick yang mendengar semua itu hanya tertawa kecil dan memberikan beberapa saran kepada James.
"Kau tahu, James? menjadi presiden adalah hal paling berat bagi semua orang. namun tidak bagi orang yang telah menjabat"
"Bagaimana tidak, Mick?"
"Bagaimana tidak? Presiden adalah orang nomor satu. negara kita menganut paham sosialis, kau bisa menjadi derek bagi negara ini. dan kau tak perlu khawatir untuk kehabisan uang. pejabat yang baik juga berhak mendapatkan apa yang ia inginkan"
James terdiam. Pernyataan Mick sama sekali tidak membantunya untuk menyelesaikan masalah. Ia malah tambah dilema dalam mengambil keputusan.
"Datanglah kepadaku besok, James. buatlah keputusan sebijak mungkin. Negara kita ini seperti negara dongeng, kau hanya butuh kepercayaan untuk bisa menjadi presiden"
"Baiklah, terima kasih, Mick. aku akan datang kembali besok."

Malam hari di rumah James, Maelyn sama sekali tidak membuka mulut. Ia masih tidak sudi jika James bertekad menjadi seorang presiden.
"Istriku, tolonglah aku. terimalah aku untuk mencalonkan diri sebagai presiden negeri ini. aku berjanji tidak akan berkorupsi dalam memimpin. Kau kan juga tahu, pikiranku sangat terbuka untuk dunia politik..."
Maelyn tetap tidak berkata-kata.
"Apa kau mau hidupmu begini begini saja? apa kau tidak mau harta yang berlimpah? ini satu satunya cara untuk mendapatkan semua itu, Lyn"
Maelyn angkat bicara
"Aku sungguh merasa bahagia untuk bisa hidup bersamamu, Mr. Tripicasso. aku tidak ingin kebahagiaanku ini hancur karena tekad bodohmu itu!"
suasa menegang.
"tolong, Maelyn. temani aku dalam menjabat nanti. ini impianku, kuharap kau dapat mengerti. negara ini seperti dongeng, aku hanya butuh kepercayaan untuk bisa menjadi seorang presiden"
Maelyn terdiam. ia memilih untuk diam kembali

Keesokan harinya, James bersiap untuk menemui Mick. demi istri kesayangannya itu, ia rela untuk menolak tawaran mencalonkan diri sebagai presiden. namun, perasaan berkata lain. Maelyn membuka mulutnya untuk bicara kembali
"James, maafkan aku untuk memarahimu semalam. aku hanya takut kehilangan kebahagiaan ini..."
"Tidak apa, Maelyn. lagipula apa yang kau katakan itu benar. lebih baik aku menolak tawaran ini.."
"Tidak! ambillah tawaran ini, James. setiap orang punya impian. dan kau berhak untuk mewujudkan itu"
"S...su...sungguh?"
"Iya, suamiku. pergilah menemui Mick, dan katakan kau siap untuk menjadi presiden"
James tersenyum lebar dan lekas pergi menemui Mick

"Kau benar-benar siap?"
"Iya, aku sangat siap, Mick!"
"What a gentle man! Baiklah, kalau begitu siapkan semua berkas dan identitas dirimu. kau bisa dilantik minggu depan. tidak ada calon lain untuk menjadi presiden, jadi kau bisa langsung menggantikan Mr.Bart Keano"
"Bagaimana dengan rakyat? mereka bahkan belum mengenalku, bukan?"
"Hahaha sudah kau tenang saja, mereka bisa memercayaimu. strategiku adalah menyebar karya sastramu kepada seluruh rakyat. biarkan mereka membacanya sendiri. aku sangat yakin kau bisa menyelamatkan negara ini dari keterpurukan" Jelas Mick panjang lebar.

Seminggu kemudian, tibalah saat James Siem Tripicasso dilantik menjadi seorang presiden Wessehampton. tanpa pikir panjang, masyarakat sudah dapat menerimanya menjadi presiden tanpa melalui pemilihan apapun. Pujian demi pujian diterima oleh James berkat karya sastranya yang bisa dibilang sangat memikat. Semua rakyat percaya bahwa James adalah orang yang pantas memimpin negara ini. Tak terlupakan, impian James pun menjadi kenyataan.

Dalam perjalanannya memimpin, James dikenal menjadi seorang presiden yang jujur. James tidak pernah menerima suapan apapun. Selain itu, ia mampu mengolah sumber daya alam di Wessehampton dengan sangat baik. rakyat adalah orang nomor satu baginya. Maelyn yang masih setia menemani hidup James, selalu memberikan dukungan kepadanya.

Setelah satu tahun menjabat, James menerima sesuatu yang tak terduga. tagihan uang dalam jumlah milyaran diterima olehnya. Ia sangat kaget, selama ini ia tahu bahwa sumber daya yang diolahnya menggunakan uang pajak dari masyarakat. namun ini tagihan apa? batinnya. semua anggota kabinet serta dewan perwakilan menuduh James bahwa pajak yang selama ini dipakai malah habis dimakan oleh James. James tidak terima dirinya difitnah seperti itu. berita ini juga sampai ke telinga masyarakat. hingga masyarakatpun berdemonstrasi untuk menurutkan James sebagai presiden
ocehan masyarakat yang menjerumuskan James sangat menyakitkan.
"TURUNKAN JAMES PEMBOHONG"
"TURUNKAN JAMES SI MULUT BESAR"
"JAMES PENULIS SASTRA DUSTA"
"JAMES AS SAME AS OTHER LEADER"
"JAMES IS THE WORST PRESIDENT EVER"

hingga tak tahan lagi, negara menurunkan James. James pun diadili dalam pengadilan. Ia terlibat 9 tahun penjara karena kasus korupsi tertutup. Maelyn yang mengetahui semua ini hanya bisa tersenyum

"Ini yang kau mau sejak awal, James. Bertanggungjawablah atas semua yang telah kau lakukan, sekalipun ini fitnah. Aku akan terus setia menemanimu, wahai suamiku" ucap Lou-Eva Maelyn, wanita yang sangat dicintai James.