Terik matahari menyinariku di awal Bulan April. Cahaya laksana api yang terus membara di tubuhku. Terkadang aku merasa terbakar, walau aku tetap berfotosintesis. Aku terus berharap agar hujan turun menghilangkan hawa panas dari tubuhku ini. Memberikan percikannya walau sedikit tapi begitu berarti. Di manakah kau, wahai hujan? Ditunggu di siang hari kau tak ada, malam hari pun tak kunjung datang.
Keesokan harinya tetap saja begitu. Langit begitu tega membiarkanku terus dihadapi dengan matahari yang begitu teriknya. Sementara ia di atas sana hanya senyam senyum bersantai. Menikmati pemandangan bawah langit yang terkadang indah namun memilukan. Apa pedulinya langit denganku? Sampai detik ini, ia masih saja diam.
Aku terus menghadapi hari-hariku berikutnya. Membiasakan diri menghadapi matahari, walau panasnya tak tertahankan. Aku hampir mengutuk langit, meluapkan amarahku karena ketidak adilan ini. Semoga besok langit berbaik hati dengan menurunkan hujan. Hanya gerimis, tak apalah. Yang penting hujan.
Sayangnya, takdir berkata lain. Langit bahkan mendongkrak matahari hingga jauh lebih panas. Hari demi hari, bulan demi bulan. Aku merasa hampir terbakar. Namun aku tetap bernapas. Sinar matahari ini sungguh melancarkan proses fotosintesisku. Gas CO2 dari manusia juga sebagai faktor peningkatannya.
Tepat saat aku sudah merasa terbiasa, hujan malah turun membasahi tubuhku. Rintik berkecepatan tinggi itu terdengar bising di pendengaranku. Hawa dingin menusuk dan membuatku menggigil. Terkadang apa yang aku inginkan, sering datang di saat yang tidak tepat. Tapi tak apalah, mau bagaimanapun, aku tetap menyukai hujan.
Dua hingga tiga hari berjalan. Hujan hanya berhenti sebentar-sebentar saja. Ia lebih sering datang dibanding pergi. Biasanya, ketika malam hari ia mulai berpamitan denganku.
Alangkah bodohnya aku, kini sudah dua bulan sejak turunnya hujan. Aku tak menyadari kemana perginya matahari. Aku masih bisa merasakan terangnya lingkungan sekitar di siang hari, tapi aku tak pernah merasa disinari langsung olehnya. Entah darimana datangnya perasaan ini, namun aku begitu rindu dengannya. Wahai matahari, sedang apa kau di balik awan? Yang muncul hanya sinarmu, tapi bentuk fisikmu tak terlihat satu inci pun, ungkapku dalam hati.
Harus kuakui, aku begitu rindu dengan matahari. Proses fotosintesisku tak lancar tanpanya. Para manusia juga banyak yang mengeluh karena literan air masuk ke dalam rumahnya. Aku yakin matahari melihat semua kejadian ini. Merekam dalam memorinya yang mungkin lebih dari 10 tera.
Kini aku mengerti, semua ini hanya siklus alam. Jika hujan di Bulan April tidak turun, bukan karena ia tidak mau turun. Jika matahari bersembunyi di Bulan November, sungguh semua itu bukan karena ia tidak mau muncul. Semua ini hanya siklus alam. Hukum tak tertulis yang seharusnya sudah kuketahui sejak dulu. Aku saja yang harus bersabar menunggu, serta menerima segala sesuatu yang menimpaku.
Karena ternyata langit lebih mengetahui hal yang kubutuhkan jauh lebih penting dari yang aku inginkan.
______ ____
No comments:
Post a Comment